header baru 2024

Selamat Datang di Website Resmi Pengadilan Agama Poso. Jam Kerja Pelayanan Senin-Kamis : 08.00-16.30 WITA, Jum'at : 08.00-17.00 WITA. Integritas dan Layanan Berkualitas Adalah Prioritas

Written by paposo_maroso on . Hits: 2300

Eksekusi Jaminan Fidusia Dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah

(Telaah: Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia)

 Oleh: Ronni Rahmani, S.HI., M.H.

Hakim Pengadilan Agama Sintang


BAB I PENDAHULUAN

Kewenangan absolut Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 49 Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo. Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama. Berdasarkan penjelasan pasal 49 huruf i Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, meliputi : a. bank syariah, b. asuransi syariah, c. reasuransi syariah, d. reksadana syariah, e. obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, f. sekuritas syariah, g. pembiayaan syariah, h. pegadaian syariah, i. dana pensiun lembaga keuangan syariah, j. bisnis syariah, dan k. lembaga keuangan mikro syariah.

Ekonomi Syariah telah menjadi instrumen terpenting dan berkembang dengan pesat dalam sistem perekonomian umat manusia. Aktifitas ekonomi syariah telah melibatkan banyak orang sebagai pelakunya, setiap manusia mempunyai naluri untuk beraktifitas dan hidup dengan orang lain (gregariousness). Dalam aktifitasnya manusia melakukan interaksi sosial yang dapat berupa kerja sama (cooperation), persaingan (competition), dan bahkan berbentuk pertentangan atau pertikaian (conflict) yang dapat menimbulkan sengketa.

Kegiatan usaha yang didasarkan pada prinsip-prinsip syariah yang menawarkan fungsi dan jasa yang sama dengan sistem konvensional meskipun diikat oleh prinsip-prinsip islam. Sistem operasi dari kegiatan usaha syariah berdasarkan prinsip pembagian keuntungan dan kerugian serta tidak mengenakan bunga untuk dana yang ditawarkan ke konsumen, tetapi memperkirakan pertambahan dana yang akan datang, yang merupakan hasil dari penggunaan dana tersebut. Di sisi lain, nasabah mendapatkan bagiannya dari  keuntungan dana yang dikelola tersebut berdasarkan rasio yang ditetapkan sebelumnya. Terlebih juga khususnya pada bank syariah diawasi oleh Dewan Syariah Nasional- Majelis Ulama Indonesia yang selanjutnya akan disebut dengan DSN MUI lebih menjaga transaksi yang dilakukan di bank syariah. Sehingga, masyarakat tidak perlu khawatir lagi dalam masalah kehalalan setiap transaksi yang dilakukan

Pada umumnya dalam dunia perbankan, kegiatan pinjam meminjam yang dilakukannya dengan masyarakat selalu menggunakan instrumen penyerahan jaminan utang oleh pihak debitur kepada pihak bank sebagai pemberi utang atau pinjaman, baik berupa benda (bergerak dan tidak bergerak) atau janji penanggungan utang (jaminan perorangan). Jaminan seperti yang dipraktikkan dalam dunia perbankan termasuk ke dalam jaminan yang diperjanjikan terlebih dahulu oleh kedua belah pihak. Salah satu jaminan kebendaan yang  dikenal dalam dunia perbankan atau pembiayaan adalah Jaminan Fidusia. Jaminan  fidusia ini memiliki arti yang sangat penting yakni sebagai lembaga jaminan yang bertujuan untuk keamanan dan kepastian hukum bagi si pemberi kredit. Pada mulanya lembaga jaminan yang ada dan dikenal dalam  perundang-undangan, baik yang ada dalam KUHPerdata maupun dalam peraturan khusus lainnya, dianggap telah mencukupi. Namun masyarakat terus berkembang dan perkembangannya jauh lebih cepat dari perkembangan undang-undang, dan disamping itu pula undang-undang tidak dapat mengatur semua segi kebutuhan- kebutuhan dan masalah-masalah yang dihadapi oleh manusia atau masyarakat.

Istilah fidusia berasal dari bahasa Belanda fiducie, sedangkan dalam bahasa Inggrisdisebut fiduciary transfer of ownership, yang bermakna kepercayaan. Sebagai suatu istilah, fidusia mengandung dua pengertian, yakni sebagai kata benda dan kata sifat. Sebagai kata benda, fidusia mengandung arti seseorang yang diberi amanah untuk mengurus kepentingan pihak ketiga, dengan iktikad baik, penuh ketelitian, bersikap hati-hati, dan terus terang. Sebagai kata sidat, fidusia menunjuk pada pengertian tentang hal yang berhubungan dengan kepercayaan (trust).

Fidusia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tantang Jaminan Fidusia adalah “pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya yang diadakannya tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda itu”. Kepercayaan yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah penyerahan hak milik atas benda secara kepercayaan sebagai jaminan (agunan) untuk pelunasan utang kreditur dengan syarat bahwa benda yang menjadi objek jaminan fidusia dan telah dialihkan kepemilikannya kepada penerima fidusia (kreditur) tersebut tetap berada di tangan pemberi fidusia (debitur).

Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan. Pengertian sebagaimana dimaksud dipahami secara jelas dalam ketentuan Undang-Undang Nomor  4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap dalam penguasaan pemberi fidusia sebagai agunan bagi pelunasan tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditur lainnya. Hal tersebut dalam transaksi ekonomi syariah apabila terjadi wanprestasi dari salah satu pihak yang terikat dalam sebuah akad. Wanprestasi atau cidera janji merupakan kelalaian debitur untuk memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati sehingga menimbulkan kerugian yang diderita oleh pihak yang haknya tidak terpenuhi.

Ingkar janji atau wanprestasi dalam suatu akad diatur dalam kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Pasal 36, dengan kriteria, yaitu:

  1. Tidak melakukan apa yang dijanjikan untukmelakukannya;
  2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
  3. Melakukan apa yang dijanjikannya, tetapi terlambat;atau
  4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan;

Lahirnya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia bertujuan untuk:

  1. Mengakomodasi dan menampung kebutuhan masyarakat mengenai pengaturan Jaminan Fidusia sebagai salah satu sarana untuk membantu kegiatan usaha dan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan;dan
  2. Memberikan kemudahan bagi para pihak yang menggunakannya, khususnya bagi pemberi fidusia;

Tujuan tersebut di atas nampaknya masih belum terimplementasi bagi para pelaku ekonomi yang terlibat dalam akad perjanjian kepada perbankan atau semacamnya. Beberapa pihak melakukan upaya uji materi di Mahkamah Konstitusi terhadap ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UUJF yang dilatarbelakangi atau didasari bahwa adanya ketidaksamaan perlakuan terhadap hak-hak antara Penerima Fidusia (Kreditur) dengan Pemberi Fidusia (Debitur). Pada prinsipnya UUJF sebagaimana yang telah penulis uraikan di atas adalah memberikan jaminan dan perlindungan kepastian hukum terhadap Penerima Fidusia (Kreditur) dalam memberikan kredit/pembiayaan terhadap Pemberi Fidusia (Debitur). Jaminan dan perlindungan kepastian hukum itu, terlihat secara tegas dalam konsideran menimbang yang merupakan landasan dibentuknya UU Jaminan Fidusia. Dimana undang-undang ini lahir atas kebutuhan yang besar dan terus meningkat bagi dunia usaha atas tersedianya dana. Oleh karena itu diperlukan Jaminan Fidusia sebagai lembaga jaminan agar mampu memacu pembangunan nasional pada saat krisis ekonomi sedang melanda. Agar juga memberikan jaminan kepastian hukum serta mampu memberikan perlindungan hukum bagi pihak berkepentingan.

Bentuk jaminan dan perlindungan kepastian hukum dalam pemberian kredit/pembiayaan tersebut, ditunjukkan dengan pengaturan jaminan eksekusi terhadap objek fidusia. Dengan menyamakan kekuatan eksekutorial Sertifikat Jaminan Fidusia dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (vide Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia). Oleh karena itu, dalam Sertifikat Jaminan Fidusia dicantumkan kata kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” layaknya sebuah putusan pengadilan (vide Pasal 15 ayat (1) UU Jaminan Fidusia). Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (2) UUJF, prinsip utama lembaga fidusia ini adalah memberikan kepastian hukum untuk serta merta dapat melakukan eksekusi terhadap objek fidusia.

Pasal 15 ayat (3) UUJF, telah memberikan penguatan hak kepada Penerima Fidusia (Kreditur) untuk menjual benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri, dalam hal debitur cidera janji. Pengaturan dalam pasal tersebut, hanya berfokus untuk memberikan kepastian hukum atas hak Penerima Fidusia (Kreditur) dengan jalan dapat melakukan eksekusi Objek Fidusia secara serta merta. Oleh karena itulah, ketentuan ini menemukan kelemahannya khususnya dalam memberikan pemaknaan detail pelaksanaannya yang justru dapat melanggar hak hak Pemberi Fidusia (Debitur). Ketentuan pasal tersebut, justru luput untuk memberikan kepastian hukum yang adil, jaminan, dan perlakuan yang sama dihadapan hukum, serta perlindungan terhadap hak milik pribadi Pemberi Fidusia (Debitur). Akibatnya, pengaturan ini luput untuk menjelaskan tentang kedudukan Sertifikat Jaminan Fidusia jika dihadapkan dengan Putusan Pengadilan, mekanisme dan prosedur penyitaan Objek Fidusia, serta mekanisme untuk menentukan tindakan cidera janji debitur.

artikel asli : klik disini

Hubungi Kami

Pengadilan Agama Poso 

Jl. P. Kalimantan No. 30 Poso

Sulawesi Tengah (94619)

Telp/Fax : 0452 - 21770

Email  : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

loc Lokasi Kantor

 facebook  igg  youtube  twitter

Tautan Aplikasi

Level AA conformance,
            W3C WAI Web Content Accessibility Guidelines 2.1  w3c html 5

cctv poso